Tulisan Iswadi Pratama (Sutradara teater, penulis naskah drama, penyair – Pimpinan Teater SATU LAMPUNG) tentang naskah drama SUBVERSIF!
Yang Lain dari Subversif
Iswadi Pratama
Ketika pertamakali membaca drama “Musuh Masyarakat” karya pengarang Norwegia Henrik Ibsen, pada tahun 90-an, saya merasa masygul dengan satu hal: bahwa “suara orang banyak (rakyat)” acap adalah sebuah tirani. Ia tidak lagi bisa dibayangkan seperti semboyan sucinya di masa lalu, “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Perasaan seperti ini muncul bukan lantaran fakta seperti itu baru pertamakali terjadi di Indonesia ketika itu, di mana demokrasi dielukan di bawah kontrol rezim yang fasis. Lalu, setelah reformasi bergulir di Indonesia, setelah rezim berganti dan demokrasi lebih mengandung harapan bagi kelayakan hidup sebuah bangsa, saya menyaksikan drama itu dimainkan oleh para praktisi teater dari Bandung di tahun 2003, perasaan masygul itu ternyata belum hilang. Ia cuma berubah seperti ironi yang membingungkan, apakah harus ditangisi atau ditertawai. Barangkali justeru karena di dalam drama tersebut ada seorang seperti Dr. Stockman, yang kukuh memegang “kebenaran” dan dengan heroik menentang publik dengan bersendiri.
Ibsen, yang sempat menjadi eksil di Italia dan Jerman, yang menyimpan ingatan kelam tentang nasib Ayah juga Ibunya, memang menunjukkan marah juga perlawanan. Seperti hendak menegaskan kepada kita, satu-satunya kebenaran yang ada dalam “suara orang banyak” adalah kebohongan dan kemunafikan. Ia telah tercemar oleh racun dari pikiran-pikiran kaum penguasa, borjuis, kapitalis, dan sebagainya. Maka, di akhir drama itu, Dr. Stockman berkata: “Lelaki terkuat adalah dia yang tegak menantang dunia seorang diri”.
Kalimat yang seluruhnya berisi keyakinan akan kebenaran itu, diucapkan Aktor dengan tanpa suatu perasaan rumpang atau jeri. Lurus, kukuh, dan menantang. Barangkali itulah yang hendak dilesapkan Ibsen ke dalam kesadaran pembaca atau penonton dramanya. Suatu peneguhan bahwa “Kebenaran” senantiasa sendiri, asing, luput dari orang banyak.
Lalu kini, di tahun 2014 ini, Faiza Mardzoeki, seorang perempuan aktivis yang juga penulis drama dan sutradara, mengadaptasi lakon itu ke dalam konteks Indonesia, saya kembali dihadapkan pada perasaan yang semakin melarat dan rombeng bila membayangkan fakta dan situasi politik di tanah air dewasa ini. Namun di antara itu, ada semacam harapan, mungkin lebih tepat dukungan kepada apa yang diupayakan oleh Faiza, mendekatkan lakon ini kepada publik teater di Indonesia. Dengan begitu, ada semacam sikap kritis yang tetap terjaga di tengah orang banyak terhadap praktik-praktik kekuasaan yang berlangsung saat ini. Barangkali itulah salah satu yang diinginkan Faiza.
Secara substansial, drama “Musuh Masyarakat” yang telah beralih judul menjadi “Subversif” ini tidak berbeda. Faiza melakukan perubahan dalam beberapa hal, nama-nama karakter, latar waktu dan peristiwa yang digeser ke dalam konteks Indonesia, dan penambahan nuansa kultur Indonesia. Alur cerita serta sebab dari konflik utama masih tentang pencemaran yang terjadi di sebuah kota (Kencana), akibat limbah beracun dari sebuah perusahaan. Pencemaran itu telah menyebabkan sebagian besar warga penghuni kota menjadi korban, menderita penyakit tertentu. Dr. Torangga (Dr.Stockman) yang bertugas sebagai dokter kesehatan di perusahaan menaruh curiga dan mulai melakukan penelitian. Ia, akhirnya, mendapat jawaban setelah menerima hasil uji laboraturium, bahwa sumber malapetaka memang pencemaran air akibat limbah pabrik.
Ia lalu menyiapkan sebuah artikel mengenai hal ini untuk diterbitkan di sebuah surat kabar di kota itu. Ia ingin pihak perusahaan bertanggungjawab dan merehabilitasi semua korban. Namun, sebelum hal ini sampai ke publik, pihak pemilik koran, Walikota, juga pimpinan perusahaan sudah mengetahui hal itu. Orang-orang yang sangat ia kenal dekat–bahkan Walikota yang adalah kakak-kandungnya itu, bersekongkol untuk menghentikan upaya Dr. Torangga. Persekongkolan itu berhasil mematahkan kegigihan Dr.Torangga menyuarakan kebenaran. Tak ada yang berpihak padanya selain anak dan isterinya dan seoarang pilot, sahabatnya.
Seluruh warga kota mengecamnya sebagai penjahat dan musuh masyarakat, yang akan menghancurkan perusahaan, sumber kesejahteraan perekonomian kota itu. Mereka mengecam Torangga telah melakukan tindakan yang subversif, bahkan mereka juga membuli dan mengusir Torangga dan keluarganya. Di ujung konflik itu, tiba-tiba Ayah mertua Dr. Torangga muncul dengan sebuah fakta lain, bahwa hampir semua saham perusahaan itu sudah dibelinya sebagai warisan untuk anak dan isteri Torangga. Itu artinya, perjuangan Torangga menyuarakan kebenaran akan berakibat hilangnya kekayaan milik anak dan isterinya. Namun Torangga tetap kukuh, bahkan lebih kuat dari “orang banyak” yang ia sebut seperti sekawanan orang bodoh itu.
Satu hal yang cukup penting dalam adaptasi yang dilakukan Faiza ini adalah memperjelas bahwa pencemaran itu memang benar adanya, berdsarkan uji laboraturium satu soal yang dalam versi aslinya tidak terlalu diterang-jelaskan kebenarannya. Selain itu, dalam versi “Subversif” ini, yang tercemar adalah air minum yang mengalir ke rumah-rumah warga melalui pipa-pipa ledeng, dan bukan air tempat pemandian seperti dalam versi asli. Sehingga, resiko jatuh korban menjadi lebih kuat. Dengan demikian, ia menjadi lebih berterima sebagai faktor yang menguatkan pendirian dan sikap Torangga menentang orang banyak. Sebab, ia sedang mempertaruhkan sebuah kebenaran dan keyakinan yang pasti dan kukuh. Namun, karena itu pulalah kita, pembaca atau penonton “subversif”, bisa terjebak pada situasi “anti-drama”. Sebuah situasi yang selesai dan lempang, yang tidak menyisakan keragu-raguan atau rumpang.
Sebuah kepastian akan moralitas yang kukuh dan tertutup, itulah sesungguhnya yang hendak digedor oleh Ibsen melalui seluruh dramanya. Moralitas dari zaman Victorian yang menyembunyikan kebusukan. Moralitas yang menghendaki sebuah drama seperti yang ditampilkan melalui karya-karya Shakespeare, harus memenangkan apa yang dianggap agung dan mulia di tengah masyarakat dengan cara yang langsung dan jelas. Sehingga Ibsen yang membawa nafas realisme-sosialis itu, dianggap menyebarkan skandal dan mengguncang masyarakat. Dan karena itu pulalah ia menjadi besar dan telah mengilhami jagat teater di dunia, termasuk pengarang seperti Anton Chekov.
Ia menjadi salah seorang dramawan terbesar yang karya-karyanya banyak dimainkan di seluruh penjuru dunia menyaingi naskah-naskah Shakespeare. Ia pun didapuk sebagai “Pelopor Teater Modern” dunia. Dan dramanya memang masih mengungkapkan skandal di tengah masyarakat kita hari ini. Sebuah skandal moral dan politik yang hingga saat ini dengan tanpa lelah disuarakan oleh para seniman teater, juga Faiza, yang melalui “Subversif” ini seperti hendak memerikan kepada kita bahwa nilai moralitas dalam praktik politik dan demokrasi memang sebuah utopia.
Itulah mengapa, pilihan Faiza untuk “meng-Indonesiakan” lakon Ibsen ini tentu mengandung harapan untuk mengaktualisasikan konflik-konflik yang ada di dalam lakon sehingga ia mampu menjadi semacam refleksi bagi penonton.
Tentang kebusukan para birokrat, aristokrat, pers, bahkan kaum intelektual yang satu -satunya cita-cita termulia dalam hidup mereka adalah hidup nyaman dengan sumber-sumber perekonomian yang terjaga dan terlindungi dengan baik, tidak perduli apakah demi itu semua mereka harus menjadi “demos”, sekumpulan orang banyak yang bergerak tanpa akal sehat. Bisa jadi pula, dorongan untuk mengadaptasi lakon ini tak luput dari kepekaan Faiza sebagai seorang aktivis dalam menangkap momen politik yang terjadi di Indonesia pada Pemilu 2014 yang baru lalu. Di mana seorang calon presiden yang jelas-jelas pernah menjadi aktor dari kejahatan praktik-praktik kekuasaan rezim yang fasis, tetap mampu menghimpun suara orang banyak justeru dengan memanfaatkan sistem kekuasaan dan melalui lapak-lapak jual beli suara yang digelar partai-partai politik pendukungnya.
Meskipun pada akhirnya si calon tetap kalah suara, namun persoalannya adalah bahwa “suara orang banyak” yang mendukungnya itu didominasi oleh “suara” para elite politik, aristokrat, pers, birokrat, juga kaum cendikiawan yang takut pada sesuatu yang berbeda dan membawa perubahan. Sebagaimana yang diperikan oleh Faiza melalui drama adaptasinya ini. Atau barangkali juga, sebagai penerjemah dan pengadaptasi lakon yang ditulis pada 1882 ini, Faiza punya pertimbangan lain. Namun satu hal yang dengan pasti bisa kita lihat di sini adalah, yang “lian” dari apa yang banyak dan tunggal itu, tak pernah bisa dimusnahkan. Namun, ia yang lain dan berbeda itu tampil dalam drama ini dengan cara yang berbeda dengan apa yang sering kita lihat dalam kenyataan. Dan sepertinya memang harus begitu, ia tak boleh menyerah dan kalah meski remuk redam, sebab ia sebuah harapan jika bukan ilusi.
Bandar Lampung, 17 September 2014.