APA jadinya jika novel Bumi Manusia, salah satu magnum opus karya mendiang Pramudya Ananta Toer dipindahkan dalam panggung teater? Tentu saja menjadi sebuah bahasa pengungkapan yang menarik, alternatif, menyegarkan, sekaligus bernas.
Meski untuk itu, penonton harus berpayah-payah bertempur dengan dirinya sendiri menekuni lakon sepanjang tiga jam lebih. Demikianlah lakon yang digelar 12-14 Agustus di Graha Bhakti Budaya, TIM Jakarta.
Wawan Sofwan yang bertindak sebagai sutradara, bekerja sama dengan Faiza Mardzoeki selaku penulis naskah, bahkan harus membutuhkan waktu dua tahun untuk menyajikan lakon yang diberi judul Nyai Ontosoroh itu.
Hasilnya, dengan lebih memfokuskan jalan cerita pada peri kehidupan sang Nyai, penonton disuguhi sebuah biografi panjang seorang perempuan pribumi dalam upaya menegakkan dan merebut hak-hak hidupnya.
Memang, kompleksitas novel yang tentu saja akan sulit dirangkum dalam sebuah bentuk panggung menjadi kendala sendiri. Namun, dengan kecerdikannya, sutradara jebolan StudiKlub Bandung itu, mempunyai kiat tersendiri untuk membahasakan novel dari atas panggung pertunjukan. Sayang, yang menjadi bintang tetap saja bukan para aktor-aktrisnya, penata cahaya, penata musik, penata panggung, sutradara, atau penulis naskahnya. Melainkan kebernasan naskah aslinya yang mengatasi semuanya.
Penyetaraan Hak
Lakon yang digarap dengan semangat yang prima itu akhirnya semakin meneguhkan, betapa jawaranya Pramudya menyisipkan pesan tentang penegakan dan penyetaraan hak-hak dasar manusia. Ssutradara serta semua pendukungnya berhasil menjadi penyambung cerita yang baik dari novel Bumi Manusia yang entah telah berapa puluh kali dicetak ulang sejak diterbitkan pertama.
Dengan kiat menyajikan lembaran-lembaran cerita lewat adegan flashback, penonton diajak mengembara dalam perjalanan panjang dan pelik tiap-tiap tokohnya. Porsi terbesar tentu saja Nyai Ontosoroh (Happy Salma), Minke (Temmy Mellianto), Annelies (Madina Wowor), dan sederet lakon lainnya.
Nyai Ontosoroh kecil atau Sanikem diperankan Nuansa Ayu, Tuan Mellema (William Bivers), Ir Mauritsz (Hendra Yan), Robert Mellema (Restu Sinaga), Bupati Bojonegoro (Banyuwinda), Darsam (Budi Ketjil), Bunda Minke (Ayu Diah Pasha), dan Jean Marrais (Ayes Kassar). Tiap-tiap tokoh yang menanggung beban persoalannya sendiri itulah yang mengarah pada keberadaan Nyai Ontosoroh, Annelies, dan Minke.
Dengan cara ungkap panggung yang realis, dialog-dialog yang terjadi dan berisi tentang kegetiran, kenestapaan, ketertindasan, perlawanan, romantisme hingga kegembiraan, dihantarkan dengan menawan.
Sehingga, meski belum menggetarkan, karya bersama Institut Ungu, Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika dan Perguruan Rakyat Merdeka itu sukses memberikan suguhan yang mencerdaskan.
Secerdas dan sekuat tokoh-tokoh utamanya seperti Nyai Ontosoroh, dan Minke, yang mampu menjadi citra sesungguhnya bagaimana seharusnya manusia bersikap atas berbagai macam bentuk ketidakadilan dan penindasan, yang ditimpakan padanya. Sebagaimana yang dipekikkan Minke: “Saya hanya ingin menjadi manusia bebas. Tidak diperintah dan tidak memerintah.” (Benny Benke-45)