Nyai ONTOSOROH MENGGUGAT PENGUASA KOLONIAL BELANDA!
Ya, betul. Betul sekali!
Nyai Ontosoroh dengan berang dan berani menggugat penguasa. Dengan tudingan telunjuknya dan mata berapi-api, Nyai Ontosoroh menggugat ketidak-adilan. Menggugat diskriminasi terhadap dirinya, sebagai orang pribumi. Menggugat diskriminasi terhadap menantunya, Minke. Hakikatnya Nyai Ontosoroh menggugat penindasan dan diskriminasi penguasa kolonial Belanda.terhadap bangsa Indonesia.
Perkawinan Annelies, putri Nyai Ontosoroh dengan Minke, anak bupati Jawa, tidak diakui oleh penguasa Belanda. Dikatakan bahwa Annelies masih di bawah umur. Juga dikatakan bahwa Annelies bukan putri dari Nyai Ontosoroh. Annelies hanyalah putri dari Herman Melemma. Si tuan majikan yang telah ‘membeli’nya dari orangtuanya. Kemudian menjadikannya gundik, dengan sebutan ‘Nyai’. Penguasa Belanda menolak mengakui Annelies adalah hasil hubungan Nyai Ontosoroh dengan tuan Melemma. Karena itu, katanya, bukan perkawinan yang disahkan hukum Hindia Belanda. Nyai Ontosoroh, semata-mata dianggap dan diperlakukan sehagai gundik belaka!.
Kongkalikong penguasa dengan pengadilan kolonial telah merenggutkan putri satu-satunya Nyai Ontosoroh, Annelies, dari ibu kandungnya.
Maka, Nyai Ontosoroh tampil berani menggugat pengadilan dan penguasa Belanda. Kekuasaan kolonial Belanda yang begitu kokoh bercokol di Indonesia, tidak memungkinkan Nyai Ontosoroh bisa mencapai kemenangan di pengdilan kolonial Belanda. Demikianlah bisa diperkirakan sejak semula, bahwa Nyai Ontosoroh kalah!
* * *
Itulah intisari sebuah pentasan Tropentheater Amsterdam, drama berjudul “THEY CALL ME NYAI ONTOSOROH”. Ruangan de Kleine Zaal Tropentheater dipenuhi penonton.
Irina Nyoto, anggota rombongan Pentas Teater yang datang dari Jakarta itu, bertanya kepadaku seusai petunjukkan: Bagaimana Oom? Tanpa ragu kujawab: Bagus sekali. Sukses! Iya, Oom?, tanya Irina lagi. Ya, kataku. Tentu segala sesuatu itu tidak mutlak. Jelas, pertunjukkan malam ini SUKSES BESAR. Yang pokok adalah sukses. Lancar sekali dan mencengkam. Publik terpukau dari awal sampai akhir. Diasyikkan oleh drama yang baru kali ini mereka saksikan. Namun, kataku — pada bagian akhir drama, suara Nyai Ontosoroh mengecil sampai hampir-hampir tak terdengar samasekali. Ini perlu diperhatikan. Pada saat tertentu, teks dalam bahasa Inggris yang diproyeksikan ke panggung tidak tampak. Pada saat lain terasa kurang cocok dengan teks yang diucapkan di panggung. Ada kawan disamping saya bilang: Perhatikan, agar teks Inggrisnya benar-benar pas dengan yang diucapkan di panggung.
* * *
Begitulah adanya!
Perhatian terhadap ‘nasib’ Nyai Ontosoroh, belakangan ini di Indonesia maupun di Belanda bertambah besar. Ini terutama setelah di Indonesia muncul drama ‘NYAI ONTOSOROH’ pada tahun 2007. Itu hasil karya FAIZA MARDZOEKI yang didasarkan atas novel besar Pramudya Ananta Tur, BUMI MANUSIA. Drama yang panjang ini kemudian oleh Pentas Teater digubah jadi drama lebih singkat, ‘They Call Me Nyai Ontosoroh”, Dari Ketidak-adilan Menuju Kemerdekaan.
Pengaturannya a.l sbb:
Faiza Mardzoeki – teks dan produksi. Wawan Sofwan – sutradara. Peran Nyai Ontosoroh dimainkan oleh aktris Sita Nursanti. Agni Melani memerankan Annelies. Bagus Setiawan memerankan Minke. Willem Bevers memerankan Herman Melemma.
Bahasa: INDONESIA dengan teks Inggris yang diproyeksikan di panggung.
* * *
Seperti dijelaskan fihak penyelenggara pertunjukkan Tropentheater: Tahun ini KITLV merayakan ultahnya yang ke-100 dengan menarik perhatian publik pada masa kolonial Hindia Belanda dulu. Dalam hal ini memperingati ultah ke-100 KITLV dengan suatu petunjukkan istimewa: THEY CALL ME NYAI ONTOSOROH. Karya ini adalah gubahan atas drama ‘NYAI ONTOSOROH”. Sebuah drama besar dan panjang, dipertunjukkan mulai 2007 dengan sukses besar oleh pelbagai grup drama di pelbagai kota Nusantara.
Atas permintaan Tropentheater, FAIZA MARDZOEKI, penulis gubahan tsb, telah membuat versi khusus. Itulah yang dipertunjukkan pada hari Kemis malam 21 Mei 2010. Murti dan aku serta penonton lainnya, termasuk tampak sahabat kami Sutji dan Sarmaji, menikmatinya sampai akhir.
Seperti diketahui Nyai Ontosorh adalah salah seorang dari tokoh sentral dalam buku “BUMI MANUSIA”, bagian pertama dari Tetralogi Pulau Buru, karya novelis Pramudya Ananta Tur.
Cerita “BUMI MANUSIA” itu, mengisahkan kehidupan empat manusia pada zaman kolonial Belanda. Ontosoroh dijual bapaknya ketika masih gadis, kepada seorang pengsaha Belanda, Herman Melemma. Ia dijadikan gundiknya. Diberi nama ‘Nyai’. Dari hubungan majikan-gundik, lahir seorang putra, Robert, dan seorang putri, Annelies. Karena statusnya yang rendah itu, Ontosoroh tak punya hak apapun. Tetapi Ontosoroh faham bahwa pendidikan adalah kunci untuk haridepan yang lebih baik. Maka ia belajar membaca dan menulis dari majikannya, Melemma.
Mucul komplikasi ketika terungkap bahwa Melemma sudah punya istri di Nederland. Dan Minke, jatuh cinta lalu kawin dengan Annelies. Setelah Melemma meninggal, jalannya peristiwa jadi dramatis.
* * *
Faiza Mardzoeki, penulis ‘They Call Me Nyai Ontosoroh’, selain penulis juga seorang aktivis gerakan wanita Indonesia. Dalam karya-karyaya, Faiza selalu mengangkat posisi kaum wanita. Cerita Pram – “BUMI MANUSIA” – memberikan kesempatan baik kepada Faiza untuk mengungkap perkembangan kompleks dalam kehidupan seorang wanita. Menyangkut masalah-masalah hubungan priya-wanita, periode kolonial, pengaruh asal-usul dan ras, status sosial, nilai-nilai moral dan pilihan bagi manusia.
Dengan pementasan tadi malam itu sutradara Wawan Sofwan, yang namanya tak asing lagi di dunia budaya Indonesia, membuktikan lagi bakat yang dimilikinya.
* * *
Sungguh, malam itu Murti dan aku meninggalkan Tropentheater Amsterdam pada jam 10.45 malam dengan rasa puas dan bangga atas hasil karya seniman-seniman muda Indonesia. Begitu juga kiranya perasaan sahabat kami Sutji dan Sarmaji yang malam itu juga nonton ‘THEY CALL ME NYAI OTNOSOROH”.
Besok rombongan Faizi Madzoeki mementaskan “They Call Me Nyai Ontosoroh” di Den Haag, selanjutnya di Antwerpen, Belgia.
* * *