SETIAP memasuki bulan April, perempuan di Indonesia pasti akan teringat pada RA Kartini. Lalu, biasanya peringatan terhadap gagasan, ide, dan perjuangan perempuan ningrat Jawa untuk sesama perempuan itu akan diwujudkan dalam bentuk kegiatan yang jauh melenceng dari pikiran-pikiran tokoh emansipasi perempuan itu.
MULAI dua tahun lalu, ada yang berubah di masyarakat dalam memperingati Hari Kartini. Peringatan untuk perempuan yang bersikukuh bahwa memajukan perempuan adalah melalui pendidikan ini tidak lagi berwujud lomba berkebaya, lomba memasak, lomba putri luwes, atau beramai-ramai berbusana daerah seperti berpuluh tahun terjadi.
Tahun ini, dari tanggal 5-21 April 2003, ada Festival Seni Budaya Perempuan untuk Perayaan Bulan Kartini di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Acara yang digagas Institut Ungu ini berwujud pameran seni rupa, pemutaran film, dialog publik, bedah buku, orasi budaya oleh Toeti Heraty dan Dewi “Dee” Lestari, sampai perayaan Malam Kartini. Sebelumnya, Divisi Perempuan & Anak Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia bersama-sama Teater Bejana memproduksi monolog Cairan Perempuan untuk memperingati Hari Kartini dan Hari Perempuan Internasional.
Tahun lalu, meskipun tidak persis dilakukan pada bulan April melainkan bulan Maret, untuk memperingati Hari Perempuan Internasional, publik Jakarta disuguhi pertunjukan monolog berjudul Vagina Monolog. Pentas yang naskah aslinya berjudul Vagina Monologues karangan Eve Ensler ini sungguh provokatif dan menarik minat penonton maupun media massa, karena hal yang menyerempet-nyerempet seksualitas jarang sekali dibicarakan secara publik, seolah tabu membicarakannya. Salah-salah bisa dituduh pornografi, sementara yang nyata-nyata menjajakan pornografi dibiarkan tenang-tenang melakukannya.
Pentas monolog yang berbicara tentang keperempuanan dan pengalaman perempuan yang menyenangkan maupun yang pahit, termasuk kekerasan terhadap perempuan itu, tahun ini diadakan di Yogyakarta dan penonton pun kembali luber.
Menurut Dian Kartika dari Koalisi Perempuan Indonesia sebagai produser acara pentas Vagina Monolog di Indonesia, istri Wali Kota Yogyakarta ikut menjadi salah satu pembaca naskah. Kabarnya, semula Ratu Hemas, istri Sultan Hamengku Buwono X, akan ikut menjadi salah satu pembaca naskah, tetapi saat-saat terakhir mengundurkan diri.
Gejala apa ini? Apa benar ketika pengaruh negara melemah, perempuan berhasil mengambil inisiatif memaknai keperempuanan mereka dengan cara berbeda dari makna yang selama ini dibentuk oleh negara?
BILA acara-acara kesenian di atas menarik perhatian publik dan media massa, boleh jadi karena ada pelibatan sejumlah selebriti di dalamnya. Deretan nama yang dikenal luas publik, seperti artis Ine Febriyanti, Rieke Dyah Pitaloka, Syaharani, Ria Irawan, Dewi Lestari, Nurul Arifin, kakak beradik Ayu dan Sarah Azhari, Rima Melati, serta penulis novel Ayu Lestari dan perupa Astari Rasyid, terlibat dalam kegiatan ini.
Di balik itu, sebenarnya adalah kesadaran dari kelompok-kelompok perempuan untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi wajah perempuan Indonesia melalui jalan kesenian untuk menjangkau publik yang lebih luas dan tidak berkesan menggurui. “Kami memilih Hari Kartini karena dia adalah tokoh yang dikenal luas oleh masyarakat Indonesia,” tutur Yeni Rosa Damayanti dari Dewan Pengurus Institut Ungu.
Ternyata, gagasan kelompok perempuan tersebut seperti gayung bersambut. Sejumlah selebriti menyambut ajakan berpartisipasi dan bersemangat menanggapi isu-isu mengenai perempuan.
“Perempuan sekarang harus lebih ekspresif dan berani menyampaikan gagasan. Kartini pada zamannya kan sudah menyuarakan isi hati. Perempuan sekarang juga bisa menjadi Kartini,” kata pemain sinetron Ine Febriyanti (27), yang juga menerjuni dunia teater.
Ine menyuarakan pendapatnya itu melalui pentas teater, antara lain Ekstrim karya William Mastrosimone, yang dimainkan bersama Jakarta Shakespeare Theater di Taman Ismail Marzuki akhir Januari lalu. Ine memerankan tokoh Margie, perempuan yang mengalami perkosaan. Sebagai survivor, Margie bangkit melawan dan menyiksa si pemerkosa untuk membalas dendam. Tetapi, pada akhir cerita, etika perempuan yang menurut psikolog dari Harvard Carol Gilligan berdasarkan pada kepedulian, memunculkan rasa iba pada Margie dan dia mengampuni pemerkosanya.
“Perempuan itu memiliki keindahan, tetapi bukan berarti lalu laki-laki punya hak untuk mengintimidasi perempuan,” tandas Ine. “Saya cukup bangga membela perempuan lewat pentas Ekstrim. Saya ingin menjadi seperti Kartini yang pada zamannya berani menyuarakan ide. Sekarang, seperti dalam pentas Ekstrim, saya ingin menyampaikan ini lho persoalan (ketidakadilan) sebenarnya yang dialami perempuan.”
Syaharani (31) mengaku langsung bersedia membantu lebih jauh dalam Festival April 2003 setelah berbicara dengan Yeni Rosa Damayanti. Semula dia diminta mengisi acara penutupan, tetapi kemudian bersedia dilibatkan dalam kepanitiaan untuk promosi yang secara bercanda dia sebut, “Ikut nempel-nempel poster di supermarket-supermarket. Woro-woro, PR-lah.”
“Saya melihat aktivitas ini dari sisi penyebaran daya apresiasi dan peningkatan pendidikan,” kata Syaharani, yang Selasa lalu berada di Bandung untuk urusan menyanyi di sebuah hajatan perusahaan. “Obat paling mujarab untuk memperbaiki generasi sekarang ini melalui pendidikan dan apresiasi seni bermutu.”
Aktris Ria Irawan (34) termasuk yang pertama-tama terlibat dalam pentas teater yang berbau penyadaran hak-hak perempuan. Tahun lalu dia ikut dalam pentas Vagina Monolog di Jakarta dan tahun ini untuk pentas yang sama di Yogyakarta. Dia juga terlibat dalam pentas teater Perempuan di Titik Nol (2002) dan monolog Cairan Perempuan (2003).
Meskipun begitu, Ria mengaku niatnya ikut dalam pentas-pentas teater atau monolog bertema perempuan bukanlah didasari kesadaran dari awal untuk ikut dalam gerakan perempuan. “Kesertaanku dalam pentas-pentas itu adalah bagian dari revolusi perjalananku, bukan sebuah kesadaran, apalagi karena mengikuti gerakan perempuan,” kata Ria.
Bila pentas teater yang pernah dia ikuti nantinya melahirkan sebuah genre berkesenian baru, katakan teater feminis, Ria mengatakan sanggup mempertanggungjawabkannya secara kesenian.
Dalam Festival April 2003, Ria akan menjadi salah satu pembicara pada tanggal 19 April, sedangkan pada tanggal 18 April, Ria akan ikut membacakan surat-surat Kartini dalam sebuah acara yang diadakan di Rembang, Jawa Tengah. “Gue ikut-ikut pentas itu bukan karena tumbuhnya kesadaran akan gerakan perempuan. Gue tiba-tiba sudah ada, itulah revolusi gue itu,” kata Ria lagi.
KATA ekor berkonotasi dengan sesuatu yang pasif karena mengikut saja ke mana kepala pergi. Kata itulah yang digunakan Rieke Dyah Pitaloka (29) dengan sangat provokatif untuk menggambarkan kenyataan perempuan dalam perkawinan saat ini.
//bagai ekor yang menempel di pantat binatang…// ungkap Rieke dalam puisi berjudul Kado Perkawinan. Rencananya, puisi itu akan terbit bersama puisi-puisinya yang lain bulan depan. Isinya terutama mengenai ketertindasan perempuan, bukan hanya oleh laki-laki, tetapi juga oleh sistem yang patriarkis.
“Dalam perkara ini, perempuan yang menempel suami bagai ekor di pantat binatang sama sekali tidak bisa disalahkan. Sistem yang berlaku di masyarakat dan negara adalah sumber penyebabnya. Sistem kita masih carut-marut. Pendidikan kita, misalnya, sama sekali tidak berpihak kepada kaum perempuan,” kata Rieke.
Ada satu pengalaman yang membuat Rieke melek bahwa perempuan di dalam budaya Indonesia posisinya masih direndahkan dan didominasi sistem yang patriarkis. Pada awal kariernya sebagai artis, seorang produser pernah menawarinya untuk memilih “main gila” atau main sinetron. “Gila enggak aku ditawari kayak begitu. Menurut aku, itu sudah merupakan bentuk-bentuk pelecehan terhadap perempuan,” kata Rieke jengkel.
Kejadian pengambilan gambar secara sembunyi-sembunyi sejumlah artis ketika mereka berada di ruang ganti pakaian, menurut Rieke, adalah contoh lain tentang dominannya budaya patriarki. “Bukan sekadar perendahan atau pelecehan terhadap harkat perempuan, ini sudah mencederai. Temanteman yang terkena kasus ini menjadi sangat trauma, dan ini cedera yang sangat sulit disembuhkan,” kata Rieke. Tragisnya, berbagai tindakan pelecehan itu, lanjutnya, dianggap sebagai sesuatu yang wajar, biasa saja.
Perjuangan Kartini, menurut Rieke, memang baru berhasil membukakan pintu sekolah untuk anak-anak perempuan, tetapi itu adalah sumber inspirasi. Banyak yang mesti dilakukan ke depan, meskipun perempuan sekarang bisa mengambil keputusan buat dirinya.
“Perempuan belum bisa lepas dari penindasan bukan saja oleh laki-laki, tetapi juga oleh sistem dengan negara sebagai pengendalinya. Belum tentu kan perempuan yang jadi pimpinan lalu kebijakannya membela kaum perempuan. Demikian juga sebaliknya, belum tentu seorang laki-laki tidak peduli pada perjuangan perempuan mendapatkan keadilan,” tandas Rieke.
Karena alasan itu, Rieke tidak ragu-ragu ketika diajak tampil dalam pertunjukan monolog maupun pentas teater yang menyuarakan isu-isu perempuan, mulai dari Ekstrim, Perkawinan, sampai Cairan Perempuan. Dia bahkan bertekad akan berkesenian dengan terus membawakan suara perempuan.
Ada alasan mengapa Rieke memilih jalur kesenian. Kata mahasiswi S-2 Jurusan Filsafat Universitas Indonesia ini, kesenian akan lebih menyentuh hati nurani dan tidak menggurui. Di sisi lain, gerakan perempuan selama ini cenderung menjadi gerakan yang eksklusif. “Padahal, gerakan ini kan tidak bisa dilepaskan dari gerakan politik, misalnya. Jadi, jangan berjuang sendiri-sendiri. Ajak juga laki-laki yang feminis untuk memperjuangkan keadilan untuk perempuan,” tandas pemain sinetron Bajaj Bajuri ini lagi.
Aktris yang juga punya ketegasan sikap dalam memperjuangkan isu-isu perempuan adalah Nurul Arifin (35). Dia termasuk artis yang pertama- tama merasakan ada sistem yang tidak adil terhadap perempuan. Apalagi dia berada dalam dunia sinetron yang membentuk stereotip perempuan yang bila bukan lemah, tidak berdaya, dan patuh, dia adalah jahat, culas, cerewet, konsumtif, dan terpenjara dalam lingkup domestik. Kalaupun ceritanya mengambil tokoh perempuan karier atau profesional, tidak pernah diceritakan bagaimana perjuangan dan gagasannya dalam karier, tetapi balik lagi ke stereotip di atas.
Keterlibatan Nurul dalam isu-isu perempuan berawal ketika dia ikut bermain dalam sinetron Kupu-kupu Ungu tahun 1996-1997 sebagai dokter yang menangani penderita AIDS. Setelah bermain dalam sinetron yang disponsori Yayasan Ford dan USAID itu, ibu dua anak ini merasa ada kebutuhan mencari tahu lebih jauh mengenai AIDS. Dari situ, dia lalu ikut kursus mengenai kesehatan reproduksi yang diselenggarakan FISIP Universitas Indonesia (UI) dengan beasiswa dari Yayasan Ford.
“Di situ aku belajar tentang relasi jender dan kesehatan reproduksi, dan aku baru benar-benar mudeng, terbuka banget pengetahuanku tentang relasi jender. Padahal, aku ini kan istilahnya cewek gaul, tetapi aku merasa surprise banget ada konstruksi sosial yang tidak adil terhadap perempuan. Aku enggak bisa bayangin bagaimana perempuan-perempuan di pelosok-pelosok yang tidak seberuntung aku punya pengetahuan mengenai ini,” kata Nurul, yang kini tengah melanjutkan studi ilmu politik di S-1 FISIP UI.
Bersekolah lagi pun seperti suratan takdir yang memperkuat pengetahuannya sebelumnya. “Tiba-tiba aku sekolah lagi ambil ilmu politik. Pertimbanganku awalnya sederhana saja memilih jurusan itu. Ilmu politik karena tidak diminati perempuan, maka aku pasti diterima. Jadi, aku sering surprise sendiri kok semuanya jadi seperti sejalan,” tambah Nurul, yang belakangan laris jadi bintang iklan.
MENCOBA konsisten dengan pemahamannya yang baru, Nurul jadi lebih teliti dalam melihat skenario yang ditawarkan kepada dia. Dia tidak segan untuk melakukan tawar-menawar dengan produser atau sutradara dan penulis skenario bila dia merasa ada peran yang menguatkan stereotip perempuan. “Saya enggak mau kalau disuruh menangis tanpa alasan yang kuat,” kata Nurul, yang akhirnya selalu mendapat tawaran untuk peran perempuan mandiri.
Toh Nurul mengaku tidak mendapat kesulitan dengan para produser dan dia tetap mendapat tawaran bermain sinetron. “Saya malah punya bargaining position yang lebih baik, misalnya saya bisa bilang saya mau syuting setelah selesai jam kursus (tentang hak reproduksi),” kata Nurul. “Citra saya juga naik dalam iklan, kan.”
Nurul berusaha menularkan pengetahuannya kepada teman-temannya sesama artis supaya mereka bisa ikut mengubah kondisi yang tradisional tentang perempuan dan mengubah sistem yang patriarki dalam industri film, tetapi dia mengaku sulit sekali. Bahkan, beberapa teman artis yang dia lihat berpikiran terbuka dan maju malah menciut ketika diajak berbicara soal ini.
“Padahal, aku sudah katakan feminisme itu bukan mau melebihi laki-laki, tetapi mau supaya kita sejajar. Yah, bagaimana ya, teman-teman sendiri sering menyindir ngapain mengurusi ini, tetapi aku sih cuek saja,” kata Nurul diiringi derainya.
Ine Febriyanti juga tidak mau karena kepeduliannya pada isu-isu ketidakadilan terhadap perempuan lalu bertindak, menurut istilah dia, ekstrem. Yang dia maksud ekstrem itu antara lain tidak mau melahirkan, meninggalkan tanggung jawab sebagai ibu, tidak mau menikah. “Yang penting, keseimbangan antara hak dan kewajiban perempuan itu terjaga, tidak timpang dan tidak terjajah. Jangan atas nama kebebasan lalu bersikap sinis dan mengintimidasi laki-laki,” ujarnya.
Pandangan yang senada juga dilontarkan Syaharani. “Perempuan itu secara kodrati diberi kelebihan untuk melahirkan kehidupan, tetapi dia juga bukan superwoman. Jadi, saya juga tidak setuju kalau perempuan lalu mengambil alih tugas laki-laki,” katanya.
Tidak heran bila Rieke mengingatkan bahwa perempuan harus lebih yakin terhadap kemampuan dirinya dan menyadari meskipun hidup di dalam dunia yang didefinisikan laki-laki, nasib perempuan ada di tangan perempuan sendiri. “Tetapi, jangan bertindak berlebihan. Bertindaklah sebagaimana kita mengenal diri kita sendiri supaya tidak merugikan orang lain dan diri kita sendiri,” kata penulis puisi ini. (CAN/XAR/NMP)