”Kini saya sadari bahwa yang paling sedikit diperdayakan dari semua perempuan adalah seorang pelacur. Perkawinan adalah lembaga yang dibangun atas penderitaan yagn paling kejam untuk kaum wanita.”
Kalimat di atas adalah kalimat yang keluar dari mulut seorang perempuan yang menjadi tokoh sentral Perempuan di Titik Nol karya pengarang feminis, Nawal el-Saadawi. Boleh jadi banyak perempuan yang marah membacanya. Namun, Firdaus—tokoh perempuan yang menjadi fokus utama cerita ini—mempunyai pandangan ekstrem seperti itu setelah ia melewati kehidupan dalam lembaga perkawinan dan yang didapatnya hanyalah kepahitan demi kepahitan.Betapa tidak? Ketika kecil, ia melihat ibunya kerap dipukuli dan selalu diperbudak oleh ayahnya. Ketika beranjak dewasa, ia diperistri seorang syeik berharta banyak tetapi pelitnya minta ampun. Firdaus bahkan tiak pernah bisa makan kenyang. Sabun pun selalu dihitung pemakaiannya. Tak hanya itu, seperti ibunya pun, Firdaus selalu dipukul dan dihina. Karena tidak tahan hidup seperti itu, Firdaus pun melarikan diri dari rumahnya. Ia bertekad mencari kerja dengan berbekal ijazah sekolah menengah. Namun, ijazah itu pun ternyata tidak banyak berguna. Kembali Firdaus masuk ke dalam perlakuan jahat seorang laki-laki. Oleh lelaki ini, Firdaus bahkan dijadikan pelacur. Begitulah, berkali-kali Firdaus bertemu lelaki-lelaki yang memberikan kesengsaraan. Namun, nasib yang keras itu ternyata berhasil mendidik Firdaus menjadi sosok perempuan yang keras pula. Ia tak akan mau takluk meski seorang raja yang memanggilnya.
Di akhir cerita, dari berbagai duka yang dijalaninya sebagai pelacur, Firdaus akhirnya membunuh lelaki yang ingin memperlakukannya dengan kasar. Firdaus dikejar, ditangkap dan akhirnya diadili. Namun yang menarik, keputusan kematian bahkan diterimanya dengan kepasrahan—kalau tidak bisa disebut kebahagiaan—karena baginya segala yang dilakukan telah benar dan dia merasa sebagai wanita, dunia ini sudah terlalu berat untuk dihadapi.
DipentaskanNovel berjudul Perempuan di Titik Nol kini tengah dipersiapkan menjadi sebuah pertunjukan teater. Sekitar 40 pemain dari berbagai kalangan—artis, pemain teater, aktivis, mahasiswa— yang dikoordinir oleh Solidaritas Perempuan akan menjadi pementasnya.
Menurut Faiza Mardzoeki, pimpinan produksi, meski bercerita tentang perjuangan seorang perempuan di tengah-tengah dunia yang mengutamakan peran laki-laki, pementasan ini nyatanya lebih menekankan kemasan seni teater dan tak sekadar kampanye semata. Keseriusan menggarap teater yang akan dipentaskan pada tanggal 20 dan 21 April 2002 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta ini telah tampak pada tahap pemilihan skenario. Sebuah naskah sebelumnya telah diselesaikan oleh seorang penulis perempuan.
Namun, naskah tersebut tak jadi dipakai karena dinilai lebih cocok dibuat untuk sinetron. Akhirnya naskah yang dibuat Daniel H. Jacob yang sekaligus bertindak sebagai sutradara menjadi pilihan.”Menulis naskah ini menjadi pekerjaan yang paling berat buat saya,” ujar Daniel saat ditemui di sela-sela latihan bebrapa waktu lalu. Menurut dia, cerita yang dibuat oleh Nawal begitu perempuan. Itu sebabnya, Daniel bolak-balik mengkonsultasikan naskahnya pada aktivis-aktivis perempuan macam Nooriyah Wahid, Mira Diarsi, dan Debra Yatim. Ketika semua sudah mengangguki barulah latihan dimulai. Selain para aktor yang didominasi para pekerja seni, Nurul Arifin kemudian ditunjuk untuk memerankan Firdaus dewasa.
Pemilihan Nurul tak lepas dari pertimbangan bahwa ia seorang artis yang cerdas dan berakting bagus. Tak tanggung-tanggung, untuk persiapan, Nurul dan para seniman itu sempat diikutkan dalam retreat di Bogor untuk kontemplasi menjelang latihan. Selain itu, mereka juga melibatkan Ria Irawan sebagai Nona Iqbal, Carmanita sebagai penata busana, dan Ugo Haryanto, seorang pelukis, sebagai penata artistik. Patriarki”Inti dari novel Perempuan di Titik Nol itu ‘kan memaparkan tentang kondisi masyarakat yang munafik dari kaum pria terhadap soal seksualitas, yang direpresentasikan tentang kesewenangan yang dilakukan terhadap istri atau pun pelacur,” ujar Faiza.
Di kultur yang patriarkhis, perempuan juga kerap dianggap sampah. Adanya kekerasan terhadap istri, pemaksaan dalam lembaga perkawinan. Pada naskah itu terlihat dalam diri Firdaus sebagai istri dari Syekh Mahmoud. Firdaus, selama perjalanan hidupnya berperan sebagai obyek dalam status yang berbeda. Saat menjadi istri, dia harus melayani seksual suaminya dengan ikhlas dan tanpa pamrih — itu pun masih diperlakukan secara kasar. Saat menjadi pelacur, dia sebenarnya ingin memilih para pelanggan, ingin merdeka, untuk memanjakan perasaannya.
Firdaus memerankan dua kontradiksi sekaligus. Walau status tersebut jauh berbeda–sebagai istri jadi terhormat, sedangkan sebagai pelacur tidak terhormat—tetapi implikasi perlakuan dari lelaki tetap saja sama. Dalam kejadian ini, si lelaki yang memperlakukannya dengan kasar hingga Firdaus terbuang pun sebenarnya patut disalahkan. Si lelaki, ikut berperan dalam pergantian status Firdaus.Dari sisi budaya, pementasan ini bisa jadi cermin kritis buat budaya patriarkhal masyarakat Indonesia saat ini. Kebudayaan Indonesia yang masih bercorak patriarki itu tak hanya terlihat pada era modern, bahkan kultur tiap suku di Indonesia pun kadang terlihat tidak memberikan tempat yang cukup untuk kebebasan dan emansipasi wanita. (srs/ida)