JAKARTA —
Sebuah sketsa kematian terpampang di atas panggung yang tampak hitam dan gelap. Seorang perempuan tampak tersudut di tengah beberapa lelaki berjubah hitam yang mengelilinginya. Perempuan berjubah putih itu menatap tali gantungan yang berada tepat di depannya. Pandangannya tegas. Setegas pernyataan yang terlontar kemudian dari bibirnya.
“Tiap kali saya mengambil surat kabar dan menemukan gambar seorang lelaki yang merupakan gambar salah seorang dari mereka, saya akan meludahinya,” ujarnya dengan suara lantang dan penuh kebencian. Sketsa dan pernyataan itu tertuju kepada lelaki.
Perempuan itu bernama Firdaus. Ia menjelang kematian. Di tengah penantiannya, ia menggulirkan cerita hidupnya, tentang ayah, paman, suami, dan semua lelaki yang datang dan menggoreskan penderitaan yang bermuara pada vonis kematian kepadanya. Di atas panggung itu, semua kritik dan kecaman kepada lelaki menjadi sebuah melodrama dalam sebuah pementasan berjudul Perempuan Di Titik Nol.
Diangkat dari novel Nawal El Saadawi, Women at Point Zero, Solidaritas Perempuan menggelar pertunjukan tersebut di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta, 20-21 April. Pementasan yang selama dua hari tiketnya terjual habis itu disutradarai Daniel H. Jacob dan mendatangkan dua artis tenar di jajaran pemainnya, Nurul Arifin sebagai Firdaus dan Ria Irawan yang merangkap peran Nona Iqbal dan Sharifa Salah el Dine.
Daniel yang juga menulis naskah pentas ini tak banyak melakukan perubahan terhadap novelnya. Ini terlihat dari struktur cerita yang sama-sama berpangkal dan berujung kepada peristiwa menjelang hukuman mati Firdaus. Yang membedakannya hanya tiadanya kehadiran Nawal sebagai tokoh aku, seorang psikiater yang mendengar kesaksian Firdaus terakhir kalinya. “Tidak mudah bagi saya untuk menafsirkan novel itu ke dalam naskah, karena saya seorang laki-laki. Saya hanya memasukkan bagian-bagian penting dalam kehidupan Firdaus ke dalam naskah ini, karena genrenya sudah berbeda antara sastra dengan drama,” kata Daniel menanggapi pertanyaan Koran Tempo pada konferensi pers, Rabu (19/4).
Kesulitan yang diakui Daniel ini ternyata terlihat jelas dalam banyaknya pergantian set panggung, terhitung sampai 30 kali lebih. Pergantian ini menandai tahap-tahap cerita yang berjalan linier dan progresif. Kisahnya berhulu pada masa kanak-kanak Firdaus, remaja, kehidupan pernikahannya, masa-masanya menjadi pelacur, dan berhilir pada penantian hukuman mati yang diterimanya setelah membunuh Marzouk, mucikarinya. Banyaknya pergantian setting ini cukup mengganggu dan sebenarnya tak terlalu perlu, misalnya mengenai peletakan lemari yang tak berfungsi apa-apa, selain membuat para pekerja panggung hilir mudik mengangkutnya. Pementasan ini terlihat terlalu bernafsu untuk menumpahkan seluruh isi buku ke atas panggung. Beberapa adegan yang tak perlu dipaksa hadir meski mubazir. Misalkan adegan Firdaus kecil bermain-main dengan rekan sebayanya dan adegan ia meminta uang jajan kepada ibu dan ayahnya. Bila tujuannya untuk menggambarkan kekerasan lelaki yang dialami Firdaus pertama kali dari ayahnya, kedua adegan ini sebenarnya tak perlu. Hal itu sudah tercapai lewat adegan ketika Firdaus sekeluarga makan. Untuk makan, Firdaus dan ibunya mesti menunggu sisa makanan dari ayahnya. Dimasukkannya dua adegan yang tak ada di novelnya itu justru memperlihatkan ketidakpercayaan diri Daniel dalam usahanya menggambarkan kemelaratan dan ketidakadilan yang dialami Firdaus.
Tema perempuan memang masih langka diangkat di dunia teater Indonesia dan inilah daya tarik utama pementasan ini, selain nama Nawal el Saadawi yang memang sudah populer di kalangan pecinta sastra dan kaum feminis. Novel Nawal mampu melukiskan penderitaan perempuan yang mengalami kekerasan fisik dan psikis di dunia patriarki. Dalam novelnya, Firdaus banyak mengalami pelecehan seksual yang pada akhirnya mendaratkan dirinya pada profesi pelacur. Di panggung, tentu saja banyak adegan yang memerlukan penggambaran ini. Di beberapa bagian, Daniel cukup halus mengungkapkannya. Hal ini tampak di adegan penyunatan Firdaus dan pengalaman seksual Firdaus dengan pamannya yang memanfaatkan permainan bayangan. Tapi juga ada beberapa adegan seksual yang tak perlu, seperti misalnya persetubuhan paman dan bibi Firdaus, tapi tetap dihadirkan. Pilihan Daniel untuk tetap disiplin pada novel memang membuat pementasan ini mudah diikuti.
Sayangnya, alumni Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini terkesan terlalu dangkal dan mentah dalam memanggungkan karya ini. Karena terlalu verbal, akhirnya yang terlihat di pementasan ini sekadar permasalahan kekerasan seksual dan domestik yang dialami perempuan bernama Firdaus. Aspek psikologis dan intelektual dalam dunia perempuan jadi terabaikan. Yang patut dicatat di sini justru akting menarik Ria Irawan. Aktris ini justru mampu menyuguhkan situasi yang cair di tengah keseriusan Nurul Arifin yang terlalu emosional menjadi Firdaus. Sebagai Sharifa, Ria mampu memberikan variasi karakter yang santai dan humoris di tengah sekian banyak karakter yang terkesan serius dan ketat naskah. “Peran ini memang cukup pas buatku,” kata Ria Irawan. Sebagai mucikari, Sharifa hadir sebagai sosok perempuan yang dengan santai dan sedikit genit menasehati Firdaus tentang lelaki. “Hidup adalah ular. Keduanya sama, Firdaus. Bila ular itu menyadari bahwa kau itu bukan ular, dia akan menggigitmu. Dan bila hidup itu tahu kau tidak punya sengatan, dia akan menghancurkanmu,” kata Sharifa dengan genit. Justru dengan variasi kecil seperti inilah pementasan ini tertolong. (dewi ria utari )