Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Sedunia yang jatuh setiap tanggal 8 Maret, Institut Ungu dan Yayasan Pitaloka menggelar pentas teater monolog bertajuk Perempuan Menuntut Malam. Institut Ungu adalah sebuah organisasi nirlaba yang bergiat mengampanyekan isu-isu perempuan melalui seni budaya. Organisasi ini berdiri pada 18 Juli 2002 di Jakarta berkat gagasan Yeni Rosa Damayanti, Faiza Mardzoeki, Irina Dayasih, dan Nur Rachmi. Sejak terbentuknya, Institut Ungu telah beberapa kali mengadakan rangkaian kegiatan seni budaya yang memberikan ruang bagi perempuan untuk berekspresi sekaligus menyampaikan perspektif seluas-luasnya kepada masyarakat.
Adapun Yayasan Pitaloka, dibentuk oleh Rieke Diah Pitaloka dua tahun lalu, adalah organisasi yang didedikasikan secara khusus kepada “Demokrasi dan Kemanusiaan”, terutama bagi anak-anak dan perempuan.
Tahun ini, kedua organisasi tersebut berkolaborasi menyelenggarakan pertunjukan teater monolog Perempuan Menuntut Malam yang akan tampil di tiga kota : Jakarta (8-9 Maret), Banda Aceh (24/3), dan Bandung (28-29 Maret).
Pada pertunjukan di Jakarta dua pekan silam ketiga aktris yang tampil, Niniek L.karim, Rieke Diah Pitaloka, dan Ria Irawan, cukup berhasil membawakan masing-masing peran mereka.
Niniek L. Karim kebagian tampil pertama, memerankan tokoh Ranti, seorang ibu rumah tangga yang memutuskan bercerai karena mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dari sang suami. Bertahun-tahun kemudian Ranti tenryata harus berhadapan kembali dengan masalah yang sama. Hanya saja kali ini yang mengalami adalah putrinya. Niniek sukses membawakan perannya dengan kualitas akting yang tak perlu dipertanyakan lagi. Aktris yang mengasah bakat aktingnya di Teater Populer ini tampak tak mengalami kesulitan dengan perannya sebagai Ranti.
Berikutnya adalah Rieke Diah Pitaloka yang mewujud dalam karakter Ani, perempuan dengan peran ganda sebagai istri, ibu, sekaligus politisi. Ia kerap kali mendapat perlakuan bias gender dari media dan masyarakat. Misalnya saja, dalam wawancara ia lebih sering mendapat pertanyaan seputar rumah tangganya ketimbang pertanyaan-pertanyaan ikhwal dunia politik yang menjadi keahliannya. Dengan gayanya yang kocak menyindir, aktris sinetron yang juga aktivis ini mampu menghidupkan peran tersebut. Siasat penggunaan layar dan siluet (seperti dalam pertunjukan wayang) untuk adegan di kamar mandi cukup menarik, meskipun bukan sesuatu yang baru. Sayangnya, naskah yang sebenarnya sudah cukup cerdas, tidak sanggup menahan godaan untuk “berpidato” di bagian akhir.
Penampil ketiga adalah Ria Irawan. Aktris film senior yang memiliki nama lengkap Chandra Ariati Dewi ini mendapat bagian memerankan tokoh Khadijah, seorang pekerja seks komersial (PSK) “indie” (tidak punya germo) yang mangkal di bawah lampu jalanan Sebagai Khadijah, Ria kembali membuktikan kehandalan aktingnya di panggung teater. Karakter Khadijah yang kenes, genit, liar, dan nyeleneh begitu hidup dimainkannya.
Naskah yang ditulis oleh Faiza Mardzoeki dan Rieke Diah Pitaloka ini pada pokoknya ingin mengetengahkan persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan sehari-hari dalam lingkup rumah, seks, politik, dan kekuasaan. Sampai hari ini masih banyak perempuan yang mengalami penindasan, kekerasan, dan diskriminasi dalam banyak hal. Melalui pementasan ini diharapkan bisa membuka wawasan dan kesadaran masyarakat, khususnya perempuan, untuk bersama-sama menentang segala bentuk tindak kekerasan dan diskriminasi tersebut. Untuk lebih mendukung upaya penyadaran tersebut, selama pementasan berlangsung dipamerkan pula sejumlah foto dan poster di lobby Graha Bakti Budaya, TIM, Jakarta.
Secara keseluruhan, pentas yang digarap oleh sutradara Zuki a.k.a. Kill The DJ ini, cukup memikat. Suasana realis cukup terwakilkan oleh tata panggung minimalis dan penggunaan videografi. Pertunjukan selanjutnya di Banda Aceh akan menggandeng Komunitas Tikar Pandan dan di Bandung dengan Main Teater. ***